TERGERUSNYA BUDAYA SUKU TALANG MAMAK OLEH PEMBANGUNAN INDUSTRI

MAKALAH
ILMU SOSIAL DASAR

TERGERUSNYA BUDAYA SUKU TALANG MAMAK OLEH PEMBANGUNAN INDUSTRI














Disusun Oleh :

IRVAN TAUFIK ARIFIANTO (13315464)
KELAS : 1TA03
FAKULTAS : TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
DOSEN : EMILIANSHAH BANOWO


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-NYA yang senantiasa memberikan kemudahan dalam meyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tidak luput bantuan dari beberapa pihak juga yaitu saya berterimakasih kepada orang tua yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan, kepada dosen saya Bapak Emilianshah Banowo selaku dosen “Ilmu Sosial Dasar” yang telah memberikan motivasi dan kesempatan kepada saya untuk mengerjakan makalah ini. Adapun makalah ini berdasarkan berbagai sumber yang berkaitan dengan tema dan judul makalah ini yaitu “Tergerusnya Budaya Suku Talang Mamak Oleh Pembangunan Industri”. Harapan kami,makalah dapat memberi tuntunan konsep yang praktis bagi mereka, baik praktisi maupun teman-teman mahasiswa dalam memahami tentang vektor,  kami menyadari ini maupun cara penyampaian makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kami siap mengembangkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.


Depok, 10 Oktober 2015

            Penulis




DAFTAR ISI
Kata Pengantar                                                                                                                                 i
Daftar Isi                                                                                                                                         ii
BAB I PENDAHULUAN                                                                                                               1
1.1     Latar Belakang                                                                                                                          1
1.2     Rumusan masalah                                                                                                                      1
1.3     Tujuan                                                                                                                                        2
1.4     Metode penelitian                                                                                                                      2
BAB II PEMBAHASAN                                                                                                                3
2.1 Sejarah singkat suku talang mamak                                                                                            3
2.2  Kebiasaan hidup masyarakat suku talang mamak                                                                      4
2.3 konflik yang terjadi antara perusahaan dan suku talang mamak                                                5
2.4 Kondisi suku Talang Mamak saat ini                                                                                          6
BAB III PENUTUP                                                                                                                       11
3.1 Kesimpulan                                                                                                                               11
3.2 Saran                                                                                                                                         11
DAFTAR PUSTAKA                                                                                                                    12


BAB 1
 PENDAHULUAN

1.1             Latar Belakang
Dewasa ini, maraknya pembukaan lahan besar-besaran dan penebangan liar membuat masyarakat melayu asli kabupaten Indragiri Hulu, Riau terancam. Masyarakat yang disebut suku Talang Mamak ini sudah sejak dahulu tinggal dikawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan beranak cucu disana. Hadirnya beberapa perusahaan milik swasta ataupun perorangan secara tidak langsung menjadi penyebab rusaknya kawasan hutan disekitar area tersebut. Diubahnya lahan yang masih hijau menjadi area perindustrian di sekitar kawasan tempat tinggal masyarakat suku talang mamak membuat kehidupan mereka yang dekat dengan alam menjadi terganggu. Hal inilah yang menjadi ancaman bagi masyarakat suku talang mamak dalam keberlangsungan hidup.
Ancaman terhadap masyarakat talang mamak ini sudah terjadi sejak beberapa tahun terakhir. Perindustrian yang secara hakikatnya meningkatkan perekonomian daerah, justru secara jelas turut terlibat dalam pengrusakan lahan. Masyarakat yang mencari kebutuhan sehari-hari dari hutan akan kesulitan memperolehnya. Belum lagi persoalan polusi, limbah, sengketa lahan. Jika hal ini dibiarkan tentu akan mengancam keberadaan masyarakat budaya melayu asli Riau. Suku ini telah melakukan penolakan terhadap pembangunan industri dikawasan mereka, tetapi tidak digubris oleh pihak yang berwenang. Pemerintah pun juga tidak bisa melakukan upaya yang jelas kepada pihak perusahaan dalam penyelesaian masalah. 
            Oleh sebab itu saya mengangkat judul dalam makalah ini Tergerusnya Budaya Suku Talang Mamak Oleh Pembangunan Industri

1.2 Rumusan Masalah
            A. bagaimana sejarah singkat Suku Talang Mamak?
B. Bagaimana kebiasaan hidup masyarakat suku talang mamak?
C. konflik yang terjadi antara perusahaan dan suku talang mamak?
D. bagaimana kondisi suku Talang Mamak saat ini?

1.3 Tujuan
            Makalah ini dibuat dengan tujuan agar para pembaca tahu tentang pentingnya keberadaan budaya dan tetap menjaga keberadaan suku talang mamak.


1.4 Metode Penulisan
      Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini dengan membaca dari beberapa artikel dan dari beberapa media yang dapat membantu menganalisis masalah yang muncul dari tergerusnya budaya suku Talang Mamak












BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah singkat suku talang mamak
            Suku Talang Mamak tergolong melayu tua (proto melayu) yang merupakan suku asli Indragiri. Mereka juga menyebut dirinya "Suku Tuha". Sebutan tersebut bermakna suku pertama datang dan lebih berhak terhadap sumber daya di Indragiri Hulu. Menurut mitos, suku Talang Mamak merupakan keturunan Adam ketiga yang berasal dari kayangan turun ke bumi, tepatnya di Sungai Limau dan menetap di Sungai Tunu (Durian Cacar, tempat pati). Hal ini terlihat dari ungkapan "kandal tanah makkah, merapung di Sungai Limau, menjeram di sungai tunu". Itulah manusia pertama di Indragiri yang bernama Patih.
Masyarakat Talang Mamak sendiri mengakui kalau mereka berasal dari Pagaruyung. Datuk Patih Nan Sebatang turun dari Pagaruyung menyusuri sungai nan Tiga Laras yaitu Sungai Tenang, yang sekarang disebut dengan Sungai Batang Hari, Sungai Keruh yang sekarang dinamakan Sungai Kuantan/Indragiri dan Sungai Deras yang sekarang disebut dengan Sungai Kampar. Di setiap sungai ini ia membuat pemukiman/kampung. Di Sungai Batang Hari ia membuat 3 kampung yaitu Dusun Tua, Tanjung Bunga dan Pasir Mayang. Sementara di Sungai Kuantan ia membuat 3 kampung juga yaitu Inuman Negeri Tua, Cerenti Tanah Kerajaan dan Pangian Tepian Raja. Di Sungai Kampar ia juga membuat 3 kampung yaitu Kuok, Bangkinang dan Air Tiris.
Di Sungai Kuantan di Kuala Sungai Limau, Datuk Patih bertemu dengan paman beliau yang bergelar Datuk Bandara Jati. Datuk Patih memiliki 3 orang anak yaitu sibesi, kelopak dan bunga. Mereka ini diberi gelar Patih nan bertiga. Setelah mereka dewasa maka Datuk Patih memberi mereka wilayah/tanah untuk mereka tinggal dan hidup. Sibesi di tanah yang diberikan kepadanya, dibuatnya parit. Karena itulah namanya sampai sekarang dikenal dengan Talang parit. Kelopak di tanah yang diberikan kepadanya dibuatnya perigi (sumur), itulah mula asal Talang Perigi. Sementara bunga diberikan tanah di wilayah di Sungai Lakat Kecik, Lakat Gadang dan Simpang Kuning Air Hitam. Bunga ini dibekali 3 biji durian oleh Datuk Patih. Tiga biji durian ini ditanamnya secara berjajar. Karena itulah wilayah ini dinamakan Talang Durian Cacar yang berasal dari kata durian berjajar. Ke – 3 tanda ini baik parit, perigi dan durian berjajar ini masih ada hingga kini.
Menurut versi lain, Talang Mamak berasal dari pagaruyung, konon suku Talang Mamak ini suku yang terdesak dalam konflik adat dan agama di pagaruyung dan sering disebut konflik ini dengan perang “padri”. Karena terdesak maka mereka pindah ke indragiri hulu, riau.
2.2 Kebiasaan hidup suku talang mamak
            Mata pencaharian masyarakat mayoritas adalah berladang dan berkebun. Karet merupakan komoditas utama mereka. Dalam membuat kebun karet masyarakat menggunakan sistim tumpang sari dimana sebelum pohon karet besar mereka menanam padi dan tanaman semusim lainnya disela – sela pohon karet. Sekarang ini sejak kelapa sawit makin trend, beberapa orang masyarakat juga sudah mulai menanam kelapa sawit. Luasannya masih dalam skala kecil karena pengetahuan dan modal mereka yang terbatas.
Keberadaan Talang Mamak sejak dulu sangat bergantung pada hutan. Lingkungan tempat mereka hidup diatur melalui hukum adat, dan keputusan pengelolaannya diatur oleh seorang Patih yang merupakan simbol kekuasaan tertinggi Talang mamak di bawah kesultanan indragiri. Ada pepatah kuno dalam masyarakat Talang Mamak: "lebih baik mati anak, daripada mati adat". Hal itu seakan menunjukan bahwa identitas Talang Mamak tak bisa lepas dari hutan yang dikelola dengan hukum adat.
Masyarakat adat Talang Mamak yakin akan adanya Tuhan dan Nabi Muhammad atau juga mereka menyebut “islam langkah lama” dan sebagian kecil Katolik, khusunsya penduduk Siambul dan Talang Lakat. Mereka menyebut dirinya sendiri sebagai orang "langkah lama", yang artinya orang adat. Mereka membedakan diri dengan suku Melayu berdasarkan agama. Jika seorang Talang Mamak telah memeluk islam, identitasnya berubah menjadi melayu. Orang Talang Mamak menunjukkan identitas secara jelas sebagai orang adat langkah lama. Mereka masih mewarisi tradisi leluhur seperti ada yang berambut panjang, pakai sorban/songkok dan gigi bergarang (hitam karena karena makan pinang). Dalam lingkaran hidup (life cycle) mereka masih melakukan upacara-upacara adat mulai dari melahirkan dengan bantuan dukun bayi, timbang bayi, sunat, upacara perkawinan (gawai), berobat, beranggul (tradisi menghibur orang yang kemalangan) dan upacara Batambak (menghormati roh yang meninggal dan memperbaiki kuburannya untuk peningkatan status sosial).
Foklore, mitos, pengetahuan, nilai, norma, etika, interaksi sosial, struktur sosial, tata ruang, modal sosial, potensi sosial, konflik sosial, kelembagaan, pemerintahan adat, pola permukiman, alat dan teknologi; masyarakat adat Talang Durian Cacar khususnya dan Talang Mamak umumnya memiliki kepercayaan yang mereka sebut dengan Islam Langkah Lama, dan seperti ciri khas masyarakat adat, dalam masyarakat Talan Mamak juga berkembang mitos – mitos yang mereka percayai secara turun temurun. Uniknya mitos – mitos ini menjadi sumber pengetahuan, nilai, norma dan etika bagi mereka dalam kehidupan sehari – hari. Dalam kesehariannya mereka selalu merujuk ke apa yang telah diwariskan oleh leluhur mereka. Warisan – warisan dari leluhur yang mereka sebut sebagai aturan adat ini yang mengatur semua lini kehidupan mereka mulai dari pesta kawin, menanam padi, membuka lahan, upacara kematian, memilih bibit, sampai menentukan hari baik untuk beraktifitas.
Hingga sekarang sebagian besar masyarakat adat Talang Mamak masih melakukan tradisi "mengilir/menyembah raja/datok di rengat pada bulan haji dan hari raya" sebuah tradisi yang berkaitan dengan warisan sistem kerajaan indragiri. Mereka beranggapan jika tradisi tersebut dilanggar akan dimakan sumpah yaitu "ke atas ndak bepucuk, ke bawah ndak beurat, di tengah dilarik kumbang" yang artinya tidak berguna dan sia-sia. Mereka memiliki berbagai kesenian yang dipertunjukkan pada pesta/gawai dan dilakukan pada saat upacara seperti pencak silat yang diiringi dengan gendang, main gambus, tari balai terbang, tari bulian dan main ketebung. Berbagai penyakit dapat disembuhkan dengan upacara-upacara tradisional yang selalu dihubungkan dengan alam gaib dengan bantuan dukun.
2.3 Konflik yang terjadi antara suku talang mamak dan perusahaan
Masyarakat Talang Mamak mulai terusik dan diporakporandakan oleh kehadiran hph, penempatan transmigrasi, pembabatan hutan oleh perusahaan dan sisanya dikuasai oleh migran. Kini sebagian besar hutan alam mereka tinggal hamparan kelapa sawit yang merupakan milik pihak lain. Penyempitan lingkungan Talang Mamak berdampak pada sulitnya melakukan sistem perladangan beringsut dengan baik dan benar dan harus beradaptasi, bagi yang tidak mampu beradaptasi kehidupannya akan terancam. Oleh sebab itu, sekelompok suku Talang Mamak yang di tigabalai di bawah kepemimpinan Patih Laman gigih mempertahankan hutannya.
Demi memperjuangkan hutan adat, Patih Laman menentang dan menolak segala pembangunan dan perusahaan serta rela mati mempertahankan hutan.Kesaksian Patih Laman dan masyrakat adat Talang Mamak mengenai perampasan dan perusakan tanah ulayat seperti rimba puaka atau tanah keramat.
Masyarakat adat Talang Mamak merupakan suku asli Indragiri Hulu dengan sebutan "Suku Tuha" yang berarti suku pertama datang dan lebih berhak atas sumber daya alam.

2.4 Kondisi suku Talang Mamak saat ini
Rimba puaka Talang Mamak telah luluh lantak. Kondisi yang membuat Patih Laman dan masyarakat Talang Mamak merasa tidak berdaya. Patih Laman mengatakan, kerusakan akibat perambahan mulai terjadi di rimba puaka penyabungan dan panguanan kira-kira setahun setelah dirinya mendapat kalpataru. Hutan itu yang dahulu lebat kini gundul dan berganti dengan tanaman kelapa sawit. Patih Laman mengakui bahwa kini tidak ada lagi kebanggaan dirinya ketika melihat hutan adat Talang Mamak berpindah tangan dan hancur.
Di wilayah Talang Mamak, yang tersebar di Kecamatan Rakit Kulim dan Rengat Barat, sebetulnya terdapat empat kawasan rimba puaka, yakni Hutan Sungai Tunu seluas 104,933 hektare, Hutan Durian Cacar seluas 98.577 hektare, dan Hutan Kelumbuk Tinggi baner 21.901 hektare.
Perambahan hutan Sungai Tunu juga mengancam peninggalan leluhur Talang Mamak, terutama tempat jejak tapak kaki leluhur suku itu. Kawasan itu kini sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit PT. Selantai Agro Lestari (PT. SAL). Meski tapak kaki peninggalan leluhur dibiarkan ada oleh perusahaan, masyarakat Talang Mamak tetap merasa terhina dan melakukan penolakan terhadap PT. SAL sejak 2007. Namun, protes itu tak mengubah keadaan perkebunan sawit tetap tumbuh subur menggantikan hutan hutan alami.
Gading (30), penerus gelar Patih di masyarakat Talang Mamak, mengakui bahwa kerusakan rimba puaka juga didalangi oleh oknum Patih Talang Mamak yang terdahulu. Bersama oknum kepala desa Durian Cacar, tetua adat yang lama itu mengobral rimba puaka ke warga pendatang dan perusahaan. Oknum itu kini sudah dicabut gelarnya sebagai salah satu parih di Talang Mamak dan diasingkan sebagai hukuman kepadanya.
Namun, perjuangan masyarakat adat untuk mengambil kembali hak rimba puaka mereka tak pernah berhasil meski sudah menempuh jalur hukum. Gading mengatakan, masyarakat Talang Mamak pernah menggugat pt inekda ke pengadilan dan gagal. "hakim mengakui hutan adat, tapi kami tetap kalah di persidangan. Seakan kami hanya diakui, tapi tidak dilindungi," ujar gading.
Gading, yang kini juga menjabat sebagai kepala desa Sungai ekok, mengatakan, masyarakat Talang Mamak hingga kini ibarat berada di bagian bawah roda pembangunan di indonesia yang sudah puluhan tahun merdeka. Jalan penghubung di tujuh desa tempat masyarakat Talang Mamak tinggal di kecamatan rakit kulim, indragiri hulu, hingga kini masih berupa tanah yang berubah jadi kubangan lumpur setiap datang hujan. Tidak ada tiang pancang di pinggir jalan untuk menghubungkan kabel listrik ke rumah warga yang mayoritas berbentuk panggung dan berdinding kayu. Mencari warung ataupun pasar sama sulitnya dengan mencari puskesmas di tempat itu. Lebih mudah menemukan kaum pria dan perempuan tanpa pakaian penutup bagian atas tubuhnya di sana. "kami bukan suku tertinggal, tapi sengaja ditinggalkan pemerintah," kata Gading. Menurut Gading, Talang Mamak sebetulnya adalah masyarakat yang memiliki potensi sumber daya alam karena hutannya yang luas. Kawasan hutan Talang Mamak, lanjutnya, mencapai sekitar 48 ribu hektare dan sudah diakui sejak jaman penjajahan belanda oleh residen indragiri pada 1925.
Kala itu warga Talang Mamak bisa hidup makmur dari hasil pohon karet dan menanam padi di ladang berpindah. Namun kondisi kini berubah drastis, lanjut Gading, karena warga Talang Mamak tepaksa menjual getah karet lewat perantara empat tengkulak yang mengakibatkan harga jual sangat murah. “Hasil panen karet yang melimpah hanya dihargai Rp. 3.000 sampai Rp. 4.000 per kilogram. Padahal harga di pabrik sudah mencapai Rp. 14.000 per kilogram," ujarnya.
Gading mengatakan, sekitar 1.800 kepala keluarga masyarakat adat Talang Mamak, yang tersebar di delapan desa di kecamatan Rakit Kulim dan Rengat Barat, mayoritas masih hidup miskin dan berpendidikan rendah. Keberadaan belasan perusahaan kelapa sawit dan hutan tanaman industri di kawasan itu belum meningkatkan taraf hidup masyarakat adat Talang Mamak. Ia juga mengatakan bahwa masyarakat adat Talang Mamak sudah jengah dengan janji-janji para kepala daerah yang hanya rajin mengunjungi mereka sebelum pesta demokrasi pemilihan umum. "Berulangkali pemilu dilewati, janji kepala daerah terucap, mengukur jalan katanya mau diperbaiki, tapi belum ada bukti. Talang Mamak seperti hanya dibutuhkan saat pemilu, selebihnya ditinggalkan," ujar Gading.
Masyarakat adat Talang Mamak secara historis sudah memiliki sistem pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya bisa mensejahterakan mereka dari generasi ke generasi. Talang Mamak, yang tergolong suku Melayu Tua, menempatkan rimba puaka sebagai hutan simpanan yang terlarang untuk diperjualbelikan hingga untuk ditebang dan perburuan binatang juga terbatas. Rimba puaka berfungsi sebagai sumber untuk obat-obatan alami, dan penyangga penting bagi keberlangsungan ekosistem tanah perkebunan dan ladang mereka. Masyarakat adat dibantai sejak rezim orde baru dengan konsep perangkat desa dan pemberian izin HPH yang merusak aturan sosial dan hak terhadap hutan adat. Padahal masyarakat adat melayu dari dulu sudah memiliki konsep paru-paru dunia, sebelum dirusak oleh pemerintah sendiri.
Tokoh adat seperti laman dan gading, kini berada dalam pilihan yang sulit untuk mempertahankan hukum adat mereka. Padahal, seharusnya pemerintah tak perlu malu untuk berkaca pada kebijakan kolonial belanda yang mengakui keberadaan hutan adat. Sebagai contoh, pada jaman Belanda, Residen Riau menetapkan melalui pearturan no 82 tanggal 20 maret 1919, yang mengakui 26 rimba larangan dan padang gembala ternak di wilayah Kuantan Sengingi dan diberikan pada pemangku adat untuk dijaga kelestariannya. Bahkan, masyarakat adat pernah dilabeli sebagai suku tertinggal.
Sebagian besar penduduk Talang Mamak buta huruf yang disebabkan oleh berbagai faktor dan kendala. Faktor utama adalah tidak tersedianya sarana prasarana pendidikan oleh negara. Faktanya sekolah baru didirikan di Talang Mamak pada tahun 2007. Kemudian dengan berlakunya UU Pemerintah Desa no. 5 tahun 1979, mengakibatkan berubahnya struktur pemerintahan desa yang sentralistik dan kurang mengakui kepemimpinan adat. Akhirnya kepemimpinan Talang Mamak terpecah-pecah. Untuk posisi Patih diduduki 3 orang yang mempunyai pendukung yang fanatis, demikian juga konflik terhadap perebutan sumber daya. Walaupun otonomi daerah berjalan, konflik kepemimpinan Talang Mamak sulit diselesaikan. Berdasarkan fakta ini, para pemodal dan berbagai pihak melakukan penipuan dengan dalih kemakmuran masyrakat Talang Mamak mereka membujuk agar tanah dan hutan diserahkan untuk di olah, kalau ada masyrakat tidak mau menyerahkan para pemodal ini melakukan pendekatan personal melalui tetua adat dan pihak kepala desa, sehingga masyrakat terjadi perepecahan diantara mereka, dengan kejadian tersebut para pemodal dengan leluasa mendapatkan persetujuan oknum tetua adat dan kepala desa. Kemudian dengan dalih ini para pemodal mengajukan ijin ke pemerintah dengan mengatakan bahwa mereka telah mendapatkan persetujuan masyarakat. Padahal persetujuan yang dimaksud hanya persetujuan oknum tetua adat dan kepala desa dan bukan melalui musywarah adat.
Berikut beberapa perusahaan yang telah beroperasi di wilayah Talang Mamak yang mengklaim telah mendapatkan persetujuan masyarakat adat Talang Mamak, namun dalam perjalanan perusahaan ini melakukan penipuan.
Tahun 2003
PT. Bukit Batabuh Sei Indah (PT. BBSI) melakukan pengelolaan hutan dengan melakukan kesepakatan dengan Patih Laman, isi kesepakatan sebagai berikut :
a. 468 ha dilakukan pola mitra
b. Kayu yang diambil dari lahan tersebut, kayu chip feenya rp.1500 perton sedangkan log rp.5000 perkubik
c. Berdasarkan persetujuan masyarakat fee kayu tersebut digunakan untuk membangun kebun masyrakat

Sampai saat ini perjanjian ini tidak direalisasikan oleh PT. BBSI. Malahan perkebunan masyarakat digusur. Dan menurut masyarakat, PT. BBSI adalah anak perusahaan PT. Riau Andalan Pulp and Paper (PT. RAPP).
Tahun 2008
PT. Kharisma Riau Sentosa Prima mengelola lahan masyarakat adat Talang Perigi, Talang Durian Cacar, Talang Gedabu dan Talang Sungai Limau. Luas areal yang dikelola mencapai 7000 ha. Pengelolaan ini sama sekali tidak mendapat persetujuan dari masyarakat adat dan masyarakat menuntut ijin perusahaan dicabut. Akhir dari penolakan ini terjadi bentrokan yang mengakibatkan dipukulnya seorang warga bernama SUPIR yang merupakan anggota masyarakat adat Talang Sungai Limau yang kemudian dimasukan kepenjara selama tiga hari. Sampai saat ini masalah pemukulan tidak ada penyelesaian. Setelah hutan dan hasil hutan habis, PT. Kharisma Riau Sentosa Prima pun hilang dan berganti dengan PT. Mega. Dengan pendekatan gaya baru PT. Mega berhasil pula merayu sebagian masyarakat dengan pola mitra 40/60, hutan yang dikelola seluas 600 ha.
Tahun 2008
PT. SAL melakukan perjanjian dengan tiga kepala desa yaitu Kepala Desa Talang Durian Cacar, Kepala Desa Selantai dan Kepala Desa Talang Perigi. Berdasarkan perjanjian ini PT. SAL mengantongi surat izin lokasi dari Dinas Pertanahan Kabupaten Indragiri Hulu dengan nomor surat: 12.a./il-dpt/ii/2007. Luas wilayah yang akan dikelola mencapai 1000 ha. Setelah disepakati, PT. SAL mengatakan bahawa pola kerjasama adalah bina desa. Dengan demikian masyarakat menolak karena tidak sesuai dengan perjajian awal dengan masyarakat. Tiga bulan setelah penolakan ini, masyarakat dibujuk dengan membeli tanah mereka dengan harga mahal dan masyarakat pun berlomba-lomba jual tanah. Hal inipun rupanya bagian dari tipu daya perusahaan. Maka masyarakat adat Ampang Delapan menolak dan akhirnya perusahaan pun membujuk lagi dengan pola mitra 40/60. Tapi nyatanya sampai saat ini tidak terealisasi apa yang dijanjikan.






















BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Dengan semakin tergerusnya kebudayaan Melayu Riau, membuat kita harus tetap menjaga keberadaan sukuTalang Mamak yang berdomisili di Kabupaten Indragiri Hulu,Riau. Setiap orang harus mendukung dan menjaga kawasan hutan disekitar suku talang mamak dan menolak setiap penebangan liar ataupun pembukaan lahan secara besar-besaran. Jangan biarkan dibukanya perindustrian justru menghilangkan suku dan adat yang ada dikawasan Indragiri Hulu, Riau.

3.2 Saran
Masyarakat harus melakukan langkah nyata dengan memberikan usulan kepada pemerintah dan mengawasi jalannya pembangunan industri diwilayah tersebut. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus menindak tegas pihak perusahaan jika terdapat hal-hal yang mengakibatkan rusaknya kawasan hutan dan tergusurnya suku talang mamak, salah satunya yaitu menunda perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU) dengan demikian pihak Industri tidak akan semena-mena mengganggu kawasan suku talang mamak yang berakibat tergerusnya budaya Melayu Riau












Daftar Pustaka

http://wgcop.blogspot.co.id/2010/03/48-ribu-ha-hutan-adat-talang-mamak.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelebihan dan Kekurangan Kayu sebagai Bahan Konstruksi

MENGHILANGKAN GARIS TITIK TITIK PADA MICROSOFT OFFICE WORD 2013

GAMBAR SIMBOL SIMBOL BAHAN BANGUNAN