TERGERUSNYA BUDAYA SUKU TALANG MAMAK OLEH PEMBANGUNAN INDUSTRI
MAKALAH
ILMU SOSIAL DASAR
TERGERUSNYA
BUDAYA SUKU TALANG MAMAK OLEH PEMBANGUNAN INDUSTRI
Disusun Oleh :
IRVAN
TAUFIK ARIFIANTO (13315464)
KELAS : 1TA03
FAKULTAS : TEKNIK SIPIL DAN
PERENCANAAN
DOSEN
: EMILIANSHAH BANOWO
KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-NYA yang
senantiasa memberikan kemudahan dalam meyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Tidak luput bantuan dari beberapa pihak juga yaitu saya berterimakasih
kepada orang tua yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan, kepada dosen
saya Bapak Emilianshah Banowo selaku dosen “Ilmu Sosial Dasar” yang telah
memberikan motivasi dan kesempatan kepada saya untuk mengerjakan makalah ini.
Adapun makalah ini berdasarkan berbagai sumber yang berkaitan dengan tema dan
judul makalah ini yaitu “Tergerusnya Budaya Suku Talang Mamak Oleh Pembangunan
Industri”. Harapan kami,makalah dapat memberi tuntunan konsep
yang praktis bagi mereka, baik praktisi maupun teman-teman mahasiswa dalam
memahami tentang vektor, kami menyadari ini
maupun cara penyampaian makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kami
siap mengembangkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.
Depok, 10 Oktober 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar i
Daftar
Isi
ii
BAB
I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar
Belakang 1
1.2 Rumusan
masalah
1
1.3 Tujuan 2
1.4 Metode
penelitian
2
BAB
II PEMBAHASAN 3
2.1 Sejarah singkat suku talang mamak 3
2.2 Kebiasaan hidup masyarakat suku talang mamak 4
2.3 konflik yang
terjadi antara perusahaan dan suku talang mamak
5
2.4
Kondisi suku Talang Mamak saat ini 6
BAB
III PENUTUP 11
3.1
Kesimpulan 11
3.2
Saran 11
DAFTAR
PUSTAKA 12
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dewasa
ini, maraknya pembukaan lahan besar-besaran dan penebangan liar membuat
masyarakat melayu asli kabupaten Indragiri Hulu, Riau terancam. Masyarakat yang
disebut suku Talang Mamak ini sudah sejak dahulu tinggal dikawasan Taman
Nasional Bukit Tigapuluh dan beranak cucu disana. Hadirnya beberapa perusahaan
milik swasta ataupun perorangan secara tidak langsung menjadi penyebab rusaknya
kawasan hutan disekitar area tersebut. Diubahnya lahan yang masih hijau menjadi
area perindustrian di sekitar kawasan tempat tinggal masyarakat suku talang
mamak membuat kehidupan mereka yang dekat dengan alam menjadi terganggu. Hal
inilah yang menjadi ancaman bagi masyarakat suku talang mamak dalam
keberlangsungan hidup.
Ancaman
terhadap masyarakat talang mamak ini sudah terjadi sejak beberapa tahun
terakhir. Perindustrian yang secara hakikatnya meningkatkan perekonomian
daerah, justru secara jelas turut terlibat dalam pengrusakan lahan. Masyarakat
yang mencari kebutuhan sehari-hari dari hutan akan kesulitan memperolehnya. Belum
lagi persoalan polusi, limbah, sengketa lahan. Jika hal ini dibiarkan tentu
akan mengancam keberadaan masyarakat budaya melayu asli Riau. Suku ini telah
melakukan penolakan terhadap pembangunan industri dikawasan mereka, tetapi
tidak digubris oleh pihak yang berwenang. Pemerintah pun juga tidak bisa
melakukan upaya yang jelas kepada pihak perusahaan dalam penyelesaian
masalah.
Oleh sebab itu saya mengangkat judul dalam makalah ini
Tergerusnya Budaya Suku Talang Mamak Oleh Pembangunan Industri
1.2
Rumusan Masalah
A. bagaimana sejarah singkat Suku Talang Mamak?
B.
Bagaimana kebiasaan hidup masyarakat suku talang mamak?
C.
konflik yang terjadi antara perusahaan dan suku talang mamak?
D.
bagaimana kondisi suku Talang Mamak saat ini?
1.3
Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan agar para pembaca tahu
tentang pentingnya keberadaan budaya dan tetap menjaga keberadaan suku talang
mamak.
1.4
Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini
dengan membaca dari beberapa artikel dan dari beberapa media yang dapat
membantu menganalisis masalah yang muncul dari tergerusnya budaya suku Talang
Mamak
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah singkat suku talang mamak
Suku Talang Mamak tergolong
melayu tua (proto melayu) yang merupakan suku asli Indragiri. Mereka juga
menyebut dirinya "Suku Tuha". Sebutan tersebut bermakna suku pertama
datang dan lebih berhak terhadap sumber daya di Indragiri Hulu. Menurut mitos,
suku Talang Mamak merupakan keturunan Adam ketiga yang berasal dari kayangan
turun ke bumi, tepatnya di Sungai Limau dan menetap di Sungai Tunu (Durian
Cacar, tempat pati). Hal ini terlihat dari ungkapan "kandal tanah makkah,
merapung di Sungai Limau, menjeram di sungai tunu". Itulah manusia pertama
di Indragiri yang bernama Patih.
Masyarakat Talang Mamak sendiri
mengakui kalau mereka berasal dari Pagaruyung. Datuk Patih Nan Sebatang turun
dari Pagaruyung menyusuri sungai nan Tiga Laras yaitu Sungai Tenang, yang
sekarang disebut dengan Sungai Batang Hari, Sungai Keruh yang sekarang
dinamakan Sungai Kuantan/Indragiri dan Sungai Deras yang sekarang disebut
dengan Sungai Kampar. Di setiap sungai ini ia membuat pemukiman/kampung. Di
Sungai Batang Hari ia membuat 3 kampung yaitu Dusun Tua, Tanjung Bunga dan
Pasir Mayang. Sementara di Sungai Kuantan ia membuat 3 kampung juga yaitu
Inuman Negeri Tua, Cerenti Tanah Kerajaan dan Pangian Tepian Raja. Di Sungai
Kampar ia juga membuat 3 kampung yaitu Kuok, Bangkinang dan Air Tiris.
Di Sungai Kuantan di Kuala Sungai
Limau, Datuk Patih bertemu dengan paman beliau yang bergelar Datuk Bandara
Jati. Datuk Patih memiliki 3 orang anak yaitu sibesi, kelopak dan bunga. Mereka
ini diberi gelar Patih nan bertiga. Setelah mereka dewasa maka Datuk Patih
memberi mereka wilayah/tanah untuk mereka tinggal dan hidup. Sibesi di tanah
yang diberikan kepadanya, dibuatnya parit. Karena itulah namanya sampai
sekarang dikenal dengan Talang parit. Kelopak di tanah yang diberikan kepadanya
dibuatnya perigi (sumur), itulah mula asal Talang Perigi. Sementara bunga
diberikan tanah di wilayah di Sungai Lakat Kecik, Lakat Gadang dan Simpang
Kuning Air Hitam. Bunga ini dibekali 3 biji durian oleh Datuk Patih. Tiga biji
durian ini ditanamnya secara berjajar. Karena itulah wilayah ini dinamakan
Talang Durian Cacar yang berasal dari kata durian berjajar. Ke – 3 tanda ini
baik parit, perigi dan durian berjajar ini masih ada hingga kini.
Menurut versi lain, Talang Mamak
berasal dari pagaruyung, konon suku Talang Mamak ini suku yang terdesak dalam
konflik adat dan agama di pagaruyung dan sering disebut konflik ini dengan
perang “padri”. Karena terdesak maka mereka pindah ke indragiri hulu, riau.
2.2
Kebiasaan hidup suku talang mamak
Mata pencaharian masyarakat mayoritas
adalah berladang dan berkebun. Karet merupakan komoditas utama mereka. Dalam
membuat kebun karet masyarakat menggunakan sistim tumpang sari dimana sebelum
pohon karet besar mereka menanam padi dan tanaman semusim lainnya disela – sela
pohon karet. Sekarang ini sejak kelapa sawit makin trend, beberapa orang
masyarakat juga sudah mulai menanam kelapa sawit. Luasannya masih dalam skala
kecil karena pengetahuan dan modal mereka yang terbatas.
Keberadaan Talang Mamak sejak dulu sangat bergantung pada hutan.
Lingkungan tempat mereka hidup diatur melalui hukum adat, dan keputusan
pengelolaannya diatur oleh seorang Patih yang merupakan simbol kekuasaan
tertinggi Talang mamak di bawah kesultanan indragiri. Ada pepatah kuno dalam
masyarakat Talang Mamak: "lebih baik mati anak, daripada mati adat".
Hal itu seakan menunjukan bahwa identitas Talang Mamak tak bisa lepas dari
hutan yang dikelola dengan hukum adat.
Masyarakat adat Talang Mamak
yakin akan adanya Tuhan dan Nabi Muhammad atau juga mereka menyebut “islam
langkah lama” dan sebagian kecil Katolik, khusunsya penduduk Siambul dan Talang
Lakat. Mereka menyebut dirinya sendiri sebagai orang "langkah lama",
yang artinya orang adat. Mereka membedakan diri dengan suku Melayu berdasarkan
agama. Jika seorang Talang Mamak telah memeluk islam, identitasnya berubah
menjadi melayu. Orang Talang Mamak menunjukkan identitas secara jelas sebagai
orang adat langkah lama. Mereka masih mewarisi tradisi leluhur seperti ada yang
berambut panjang, pakai sorban/songkok dan gigi bergarang (hitam karena karena
makan pinang). Dalam lingkaran hidup (life cycle) mereka masih melakukan
upacara-upacara adat mulai dari melahirkan dengan bantuan dukun bayi, timbang
bayi, sunat, upacara perkawinan (gawai), berobat, beranggul (tradisi menghibur
orang yang kemalangan) dan upacara Batambak (menghormati roh yang meninggal dan
memperbaiki kuburannya untuk peningkatan status sosial).
Foklore, mitos, pengetahuan, nilai,
norma, etika, interaksi sosial, struktur sosial, tata ruang, modal sosial,
potensi sosial, konflik sosial, kelembagaan, pemerintahan adat, pola
permukiman, alat dan teknologi; masyarakat adat Talang Durian Cacar khususnya
dan Talang Mamak umumnya memiliki kepercayaan yang mereka sebut dengan Islam
Langkah Lama, dan seperti ciri khas masyarakat adat, dalam masyarakat Talan
Mamak juga berkembang mitos – mitos yang mereka percayai secara turun temurun.
Uniknya mitos – mitos ini menjadi sumber pengetahuan, nilai, norma dan etika
bagi mereka dalam kehidupan sehari – hari. Dalam kesehariannya mereka selalu
merujuk ke apa yang telah diwariskan oleh leluhur mereka. Warisan – warisan
dari leluhur yang mereka sebut sebagai aturan adat ini yang mengatur semua lini
kehidupan mereka mulai dari pesta kawin, menanam padi, membuka lahan, upacara
kematian, memilih bibit, sampai menentukan hari baik untuk beraktifitas.
Hingga sekarang sebagian besar
masyarakat adat Talang Mamak masih melakukan tradisi "mengilir/menyembah
raja/datok di rengat pada bulan haji dan hari raya" sebuah tradisi yang
berkaitan dengan warisan sistem kerajaan indragiri. Mereka beranggapan jika
tradisi tersebut dilanggar akan dimakan sumpah yaitu "ke atas ndak
bepucuk, ke bawah ndak beurat, di tengah dilarik kumbang" yang artinya
tidak berguna dan sia-sia. Mereka memiliki berbagai kesenian yang
dipertunjukkan pada pesta/gawai dan dilakukan pada saat upacara seperti pencak
silat yang diiringi dengan gendang, main gambus, tari balai terbang, tari
bulian dan main ketebung. Berbagai penyakit dapat disembuhkan dengan
upacara-upacara tradisional yang selalu dihubungkan dengan alam gaib dengan
bantuan dukun.
2.3
Konflik yang terjadi antara suku talang mamak dan perusahaan
Masyarakat Talang Mamak mulai terusik dan diporakporandakan oleh
kehadiran hph, penempatan transmigrasi, pembabatan hutan oleh perusahaan dan
sisanya dikuasai oleh migran. Kini sebagian besar hutan alam mereka tinggal
hamparan kelapa sawit yang merupakan milik pihak lain. Penyempitan lingkungan
Talang Mamak berdampak pada sulitnya melakukan sistem perladangan beringsut
dengan baik dan benar dan harus beradaptasi, bagi yang tidak mampu beradaptasi
kehidupannya akan terancam. Oleh sebab itu, sekelompok suku Talang Mamak yang
di tigabalai di bawah kepemimpinan Patih
Laman gigih mempertahankan hutannya.
Demi memperjuangkan hutan adat, Patih Laman menentang dan menolak
segala pembangunan dan perusahaan serta rela mati mempertahankan hutan.Kesaksian Patih Laman dan masyrakat adat
Talang Mamak mengenai perampasan dan perusakan tanah ulayat seperti rimba puaka
atau tanah keramat.
Masyarakat adat Talang Mamak merupakan suku asli Indragiri Hulu
dengan sebutan "Suku Tuha" yang berarti suku pertama datang dan lebih
berhak atas sumber daya alam.
2.4
Kondisi suku Talang Mamak saat ini
Rimba puaka Talang Mamak telah luluh lantak. Kondisi yang membuat
Patih Laman dan masyarakat Talang Mamak merasa tidak berdaya. Patih Laman
mengatakan, kerusakan akibat perambahan mulai terjadi di rimba puaka
penyabungan dan panguanan kira-kira setahun setelah dirinya mendapat kalpataru.
Hutan itu yang dahulu lebat kini gundul dan berganti dengan tanaman kelapa
sawit. Patih Laman mengakui bahwa kini tidak ada lagi kebanggaan dirinya ketika
melihat hutan adat Talang Mamak berpindah tangan dan hancur.
Di wilayah Talang Mamak, yang tersebar di Kecamatan Rakit Kulim
dan Rengat Barat, sebetulnya terdapat empat kawasan rimba puaka, yakni Hutan
Sungai Tunu seluas 104,933 hektare, Hutan Durian Cacar seluas 98.577 hektare,
dan Hutan Kelumbuk Tinggi baner 21.901 hektare.
Perambahan hutan Sungai Tunu juga mengancam peninggalan leluhur
Talang Mamak, terutama tempat jejak tapak kaki leluhur suku itu. Kawasan itu
kini sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit PT. Selantai Agro Lestari
(PT. SAL). Meski tapak kaki peninggalan leluhur dibiarkan ada oleh perusahaan,
masyarakat Talang Mamak tetap merasa terhina dan melakukan penolakan terhadap
PT. SAL sejak 2007. Namun, protes itu tak mengubah keadaan perkebunan sawit
tetap tumbuh subur menggantikan hutan hutan alami.
Gading (30), penerus gelar Patih di masyarakat Talang Mamak,
mengakui bahwa kerusakan rimba puaka juga didalangi oleh oknum Patih Talang
Mamak yang terdahulu. Bersama oknum kepala desa Durian Cacar, tetua adat yang
lama itu mengobral rimba puaka ke warga pendatang dan perusahaan. Oknum itu
kini sudah dicabut gelarnya sebagai salah satu parih di Talang Mamak dan
diasingkan sebagai hukuman kepadanya.
Namun, perjuangan masyarakat adat untuk mengambil kembali hak
rimba puaka mereka tak pernah berhasil meski sudah menempuh jalur hukum. Gading
mengatakan, masyarakat Talang Mamak pernah menggugat pt inekda ke pengadilan
dan gagal. "hakim mengakui hutan adat, tapi kami tetap kalah di
persidangan. Seakan kami hanya diakui, tapi tidak dilindungi," ujar
gading.
Gading, yang kini juga menjabat sebagai kepala desa Sungai ekok,
mengatakan, masyarakat Talang Mamak hingga kini ibarat berada di bagian bawah
roda pembangunan di indonesia yang sudah puluhan tahun merdeka. Jalan
penghubung di tujuh desa tempat masyarakat Talang Mamak tinggal di kecamatan
rakit kulim, indragiri hulu, hingga kini masih berupa tanah yang berubah jadi
kubangan lumpur setiap datang hujan. Tidak ada tiang pancang di pinggir jalan
untuk menghubungkan kabel listrik ke rumah warga yang mayoritas berbentuk
panggung dan berdinding kayu. Mencari warung ataupun pasar sama sulitnya dengan
mencari puskesmas di tempat itu. Lebih mudah menemukan kaum pria dan perempuan
tanpa pakaian penutup bagian atas tubuhnya di sana. "kami bukan suku
tertinggal, tapi sengaja ditinggalkan pemerintah," kata Gading. Menurut
Gading, Talang Mamak sebetulnya adalah masyarakat yang memiliki potensi sumber
daya alam karena hutannya yang luas. Kawasan hutan Talang Mamak, lanjutnya,
mencapai sekitar 48 ribu hektare dan sudah diakui sejak jaman penjajahan
belanda oleh residen indragiri pada 1925.
Kala itu warga Talang Mamak bisa hidup makmur dari hasil pohon
karet dan menanam padi di ladang berpindah. Namun kondisi kini berubah drastis,
lanjut Gading, karena warga Talang Mamak tepaksa menjual getah karet lewat
perantara empat tengkulak yang mengakibatkan harga jual sangat murah. “Hasil
panen karet yang melimpah hanya dihargai Rp. 3.000 sampai Rp. 4.000 per
kilogram. Padahal harga di pabrik sudah mencapai Rp. 14.000 per kilogram,"
ujarnya.
Gading mengatakan, sekitar 1.800 kepala keluarga masyarakat adat
Talang Mamak, yang tersebar di delapan desa di kecamatan Rakit Kulim dan Rengat
Barat, mayoritas masih hidup miskin dan berpendidikan rendah. Keberadaan
belasan perusahaan kelapa sawit dan hutan tanaman industri di kawasan itu belum
meningkatkan taraf hidup masyarakat adat Talang Mamak. Ia juga mengatakan bahwa
masyarakat adat Talang Mamak sudah jengah dengan janji-janji para kepala daerah
yang hanya rajin mengunjungi mereka sebelum pesta demokrasi pemilihan umum.
"Berulangkali pemilu dilewati, janji kepala daerah terucap, mengukur jalan
katanya mau diperbaiki, tapi belum ada bukti. Talang Mamak seperti hanya
dibutuhkan saat pemilu, selebihnya ditinggalkan," ujar Gading.
Masyarakat adat Talang Mamak secara historis sudah memiliki sistem
pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya bisa mensejahterakan mereka dari
generasi ke generasi. Talang Mamak, yang tergolong suku Melayu Tua, menempatkan
rimba puaka sebagai hutan simpanan yang terlarang untuk diperjualbelikan hingga
untuk ditebang dan perburuan binatang juga terbatas. Rimba puaka berfungsi
sebagai sumber untuk obat-obatan alami, dan penyangga penting bagi
keberlangsungan ekosistem tanah perkebunan dan ladang mereka. Masyarakat adat
dibantai sejak rezim orde baru dengan konsep perangkat desa dan pemberian izin
HPH yang merusak aturan sosial dan hak terhadap hutan adat. Padahal masyarakat
adat melayu dari dulu sudah memiliki konsep paru-paru dunia, sebelum dirusak
oleh pemerintah sendiri.
Tokoh adat seperti laman dan gading, kini berada dalam pilihan
yang sulit untuk mempertahankan hukum adat mereka. Padahal, seharusnya
pemerintah tak perlu malu untuk berkaca pada kebijakan kolonial belanda yang
mengakui keberadaan hutan adat. Sebagai contoh, pada jaman Belanda, Residen
Riau menetapkan melalui pearturan no 82 tanggal 20 maret 1919, yang mengakui 26
rimba larangan dan padang gembala ternak di wilayah Kuantan Sengingi dan
diberikan pada pemangku adat untuk dijaga kelestariannya. Bahkan, masyarakat
adat pernah dilabeli sebagai suku tertinggal.
Sebagian besar penduduk Talang Mamak buta huruf yang disebabkan
oleh berbagai faktor dan kendala. Faktor utama adalah tidak tersedianya sarana
prasarana pendidikan oleh negara. Faktanya sekolah baru didirikan di Talang
Mamak pada tahun 2007. Kemudian dengan berlakunya UU Pemerintah Desa no. 5
tahun 1979, mengakibatkan berubahnya struktur pemerintahan desa yang
sentralistik dan kurang mengakui kepemimpinan adat. Akhirnya kepemimpinan
Talang Mamak terpecah-pecah. Untuk posisi Patih diduduki 3 orang yang mempunyai
pendukung yang fanatis, demikian juga konflik terhadap perebutan sumber daya.
Walaupun otonomi daerah berjalan, konflik kepemimpinan Talang Mamak sulit
diselesaikan. Berdasarkan fakta ini, para pemodal dan berbagai pihak melakukan
penipuan dengan dalih kemakmuran masyrakat Talang Mamak mereka membujuk agar
tanah dan hutan diserahkan untuk di olah, kalau ada masyrakat tidak mau
menyerahkan para pemodal ini melakukan pendekatan personal melalui tetua adat
dan pihak kepala desa, sehingga masyrakat terjadi perepecahan diantara mereka,
dengan kejadian tersebut para pemodal dengan leluasa mendapatkan persetujuan
oknum tetua adat dan kepala desa. Kemudian dengan dalih ini para pemodal
mengajukan ijin ke pemerintah dengan mengatakan bahwa mereka telah mendapatkan
persetujuan masyarakat. Padahal persetujuan yang dimaksud hanya persetujuan
oknum tetua adat dan kepala desa dan bukan melalui musywarah adat.
Berikut beberapa perusahaan yang telah beroperasi di wilayah
Talang Mamak yang mengklaim telah mendapatkan persetujuan masyarakat adat
Talang Mamak, namun dalam perjalanan perusahaan ini melakukan penipuan.
Tahun
2003
PT.
Bukit Batabuh Sei Indah (PT. BBSI) melakukan pengelolaan hutan dengan melakukan
kesepakatan dengan Patih Laman, isi kesepakatan sebagai berikut :
a. 468 ha dilakukan pola
mitra
b. Kayu yang diambil dari
lahan tersebut, kayu chip feenya rp.1500 perton sedangkan log rp.5000 perkubik
c.
Berdasarkan persetujuan masyarakat fee kayu tersebut digunakan untuk membangun
kebun masyrakat
Sampai
saat ini perjanjian ini tidak direalisasikan oleh PT. BBSI. Malahan perkebunan
masyarakat digusur. Dan menurut masyarakat, PT. BBSI adalah anak perusahaan PT.
Riau Andalan Pulp and Paper (PT. RAPP).
Tahun
2008
PT.
Kharisma Riau Sentosa Prima mengelola lahan masyarakat adat Talang Perigi,
Talang Durian Cacar, Talang Gedabu dan Talang Sungai Limau. Luas areal yang
dikelola mencapai 7000 ha. Pengelolaan ini sama sekali tidak mendapat
persetujuan dari masyarakat adat dan masyarakat menuntut ijin perusahaan
dicabut. Akhir dari penolakan ini terjadi bentrokan yang mengakibatkan
dipukulnya seorang warga bernama SUPIR yang merupakan anggota masyarakat adat Talang
Sungai Limau yang kemudian dimasukan kepenjara selama tiga hari. Sampai saat
ini masalah pemukulan tidak ada penyelesaian. Setelah hutan dan hasil hutan
habis, PT. Kharisma Riau Sentosa Prima pun hilang dan berganti dengan PT. Mega.
Dengan pendekatan gaya baru PT. Mega berhasil pula merayu sebagian masyarakat
dengan pola mitra 40/60, hutan yang dikelola seluas 600 ha.
Tahun
2008
PT.
SAL melakukan perjanjian dengan tiga kepala desa yaitu Kepala Desa Talang
Durian Cacar, Kepala Desa Selantai dan Kepala Desa Talang Perigi. Berdasarkan
perjanjian ini PT. SAL mengantongi surat izin lokasi dari Dinas Pertanahan
Kabupaten Indragiri Hulu dengan nomor surat: 12.a./il-dpt/ii/2007. Luas wilayah
yang akan dikelola mencapai 1000 ha. Setelah disepakati, PT. SAL mengatakan
bahawa pola kerjasama adalah bina desa. Dengan demikian masyarakat menolak
karena tidak sesuai dengan perjajian awal dengan masyarakat. Tiga bulan setelah
penolakan ini, masyarakat dibujuk dengan membeli tanah mereka dengan harga
mahal dan masyarakat pun berlomba-lomba jual tanah. Hal inipun rupanya bagian
dari tipu daya perusahaan. Maka masyarakat adat Ampang Delapan menolak dan
akhirnya perusahaan pun membujuk lagi dengan pola mitra 40/60. Tapi nyatanya
sampai saat ini tidak terealisasi apa yang dijanjikan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan semakin tergerusnya
kebudayaan Melayu Riau, membuat kita harus tetap menjaga keberadaan sukuTalang
Mamak yang berdomisili di Kabupaten Indragiri Hulu,Riau. Setiap orang harus
mendukung dan menjaga kawasan hutan disekitar suku talang mamak dan menolak
setiap penebangan liar ataupun pembukaan lahan secara besar-besaran. Jangan
biarkan dibukanya perindustrian justru menghilangkan suku dan adat yang ada
dikawasan Indragiri Hulu, Riau.
3.2 Saran
Masyarakat harus melakukan langkah nyata dengan memberikan usulan
kepada pemerintah dan mengawasi jalannya pembangunan industri diwilayah
tersebut. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus menindak tegas pihak
perusahaan jika terdapat hal-hal yang mengakibatkan rusaknya kawasan hutan dan
tergusurnya suku talang mamak, salah satunya yaitu menunda perpanjangan izin
Hak Guna Usaha (HGU) dengan demikian pihak Industri tidak akan semena-mena
mengganggu kawasan suku talang mamak yang berakibat tergerusnya budaya Melayu Riau
Daftar
Pustaka
Komentar
Posting Komentar